Kenaikan Harga Tanah Uruk Membuat Armada Sopir Truk Lokal Tercekik, Ancaman Demonstrasi Menguat

NGANJUK,Jejakjatim.id– Kenaikan harga tanah uruk yang tiba-tiba diberlakukan oleh pengusaha tambang galian C di Kabupaten Nganjuk membuat para sopir truk lokal menjerit. Tanpa pemberitahuan dan tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi bagi para pekerja angkutan, harga tanah uruk melonjak drastis dari Rp 200.000 menjadi Rp 300.000 per rit.


Kenaikan ini disebut-sebut merupakan hasil kesepakatan dalam rapat asosiasi tambang, dengan alasan meningkatnya pajak serta biaya operasional. Namun, bagi para sopir truk yang menggantungkan hidup dari jasa pengangkutan tanah uruk, kebijakan ini justru menjadi pukulan telak yang semakin mempersempit ruang gerak ekonomi mereka.


Menurut Kepala Bidang Pengawasan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Nganjuk, Diyon, kebijakan kenaikan harga tanah uruk tidak melanggar aturan. Ia menjelaskan bahwa dari sisi pajak, pemerintah daerah hanya menerapkan ketentuan yang berlaku, yakni pajak 20 persen untuk pemerintah daerah dan 5 persen untuk provinsi.


"Jika pengusaha tambang menaikkan harga, itu hak mereka. Bisa jadi ini akibat kenaikan biaya operasional. Secara teori ekonomi, saat harga tanah uruk masih Rp 200.000 per rit, sopir menjualnya ke konsumen dengan harga Rp 500.000. Artinya, sopir masih memiliki keuntungan sekitar Rp 300.000 per rit," ujar Dion.


Namun, pernyataan ini justru menuai protes keras dari para sopir truk. Mereka menilai bahwa pemerintah daerah hanya melihat dari sudut pandang pengusaha tambang tanpa memahami realitas di lapangan.


Yanto, salah satu sopir truk lokal, membantah keras perhitungan yang disampaikan oleh Bapenda. Menurutnya, asumsi bahwa sopir mendapat keuntungan Rp 300.000 per rit adalah keliru dan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.


"Dari harga jual Rp 500.000 per rit, kami harus membeli tanah uruk Rp 200.000. Sisa Rp 300.000 itu bukan keuntungan bersih, karena kami masih harus mengeluarkan biaya operasional seperti solar Rp 100.000 dan sewa truk Rp 150.000. Jadi, keuntungan bersih kami hanya Rp 50.000 per rit. Sekarang kalau harga tanah uruk naik jadi Rp 300.000, habislah kami!" tegasnya.


Yanto juga menjelaskan bahwa banyak sopir truk yang menyewa kendaraan dari pemilik modal. Jika harga tanah uruk terus naik tanpa diimbangi kenaikan tarif angkut, maka bukan hanya keuntungan mereka yang hilang, tetapi mereka bisa mengalami kerugian yang berujung pada terhentinya operasional.


"Kami ini kerja bukan untuk kaya, tapi untuk bertahan hidup. Kalau situasi seperti ini terus dibiarkan, maka akan banyak sopir yang terpaksa berhenti bekerja. Pemerintah harusnya peka dengan nasib kami!" tambahnya.


Melihat ketidakadilan ini, para sopir truk mulai bersatu untuk menyuarakan tuntutan mereka. Mereka merasa bahwa pemerintah daerah dan asosiasi tambang terlalu berpihak pada kepentingan pengusaha tanpa mempertimbangkan kesejahteraan pekerja di lapangan.


"Kami akan turun ke jalan dan meminta Bupati turun tangan. Bupati adalah pemimpin kami, bapak kami. Kami tidak akan diam jika terus-menerus ditekan dengan kebijakan yang mencekik seperti ini. Kalau tidak ada solusi, kami akan mogok dan melakukan aksi besar-besaran," ancam Yanto.


Para sopir menuntut agar:


1. Harga tanah uruk dievaluasi kembali agar tidak memberatkan para sopir truk.



2. Kebijakan pajak dan biaya operasional ditinjau ulang agar lebih transparan dan adil bagi semua pihak.



3. Pemerintah daerah turun tangan untuk memastikan tidak ada monopoli atau kartel dalam penentuan harga tanah uruk.


Jika tuntutan ini tidak direspons dengan cepat, mereka memastikan akan menggelar aksi unjuk rasa dalam waktu dekat.



Jika pemerintah daerah terus membiarkan hal ini terjadi tanpa intervensi, bukan tidak mungkin gejolak sosial akan semakin meningkat. Apakah Bupati akan turun tangan untuk mencari solusi? Atau justru membiarkan konflik ini berlarut-larut hingga sopir truk benar-benar melakukan aksi besar-besaran? (Tim)

Lebih baru Lebih lama